Postingan

Nina Bobo untuk Angkara

Gambar
Cerita ini bukan tentang para manusia yang berbincang. Cari tahu lebih dulu arti tiap tokoh untuk lebih memahami peran masing-masing. **** Tangan itu terkepal kuat dengan urat-urat yang tercetak jelas. Bibirnya dibungkam erat. Kepalanya bergemuruh hebat. Dadanya sembahyang ayat-ayat. Tubuhnya mematung di tempat. Mungkin sabarnya sebentar lagi sekarat.  "Sejak kapan?" Angkara menoleh pada sebuah kehadiran yang mengambil alih peran debu jalanan yang duduk di kursi sebelahnya. Namanya Asmaraloka, penuh dengan cinta kasih, pemberian tanpa pamrih. "Sejak kapan tangan itu mengepal? Apa makian sedang kau rapal?" Angkara terlalu hitam bak jelaga, terlalu rimbun bak jenggala, tak terjamah bahasa pula rasa. Tak ada yang mampu menerima dan memahaminya. Angkara banyak luka, mulut seseorang berkali-kali menikamnya bak mata pisau. Percikan darah mengenai mereka, Angkara meminta maaf karena tak bermaksud menebar noda.  "Kau dapat menjadi lemah, Angkara. Lelahmu berhak mendapa...

Dikebumikan

Gambar
Namanya Nala. Ia berwarna biru, sebagian hitam terbakar hangus oleh rasa sakit dan ketakutan. Yang biru hanya tentang hal-hal yang selama ini ia pendam, dalam, legam, dan tak terjangkau. Serta tentang tenang yang masih berusaha ia tempa di atas ombak amarahnya yang tak kunjung reda. Menghantam kepala, membuatnya merutuki dunia dan segala hal yang menimpa. Nala banyak kecewa, sebab ia terlampau piawai dalam menanamkan rasa pula asa. Bagaimana jika dua manusia dipertemukan? Manusia yang mudah menebar janji, lalu bertemu manusia yang mudah menaruh imaji? Bukankah, perihal Nala sudah cukup menjelaskan itu semua? Nala senang duduk termenung. Isi kepalanya seperti sebuah pasar malam, riuh. Ada bianglala yang berputar yang terkadang membuatnya seringkali harus membeli obat sakit kepala. Ada komedi putar dengan tawa anak kecil yang begitu keras sampai tidak terdengar decit mesin tua yang seringkali mati mendadak. Ada pula rumah hantu yang sepi pengunjung sebab terlalu keramat untuk dikunjungi,...

Bruno, Aku Memilikinya

Gambar
Hei Bruno, aku mendengar salah satu lagumu. Aku menaruh harapan pada satu bait lirikmu. Kini, aku mendapatkannya. Dua tangkai bunga yang entah apa namanya, tapi yang kutahu aku menyukai warna dan bentuknya. Aku memberikannya untuk diriku sendiri, tahu bahwa ia perlu diapresiasi. Tak perlu oranglain mengasihi. Hei Bruno, lirikmu yang itu sedikit aku koreksi karena kamu keliru jika mengharapkan oranglain mampu membahagiakan seseorang yang kau cintai. Karena pada nyatanya seseorang itu mencintai dan menyayangi dirinya sendiri, lalu memberikan kebahagiaan dalam rupa tangkai bunga tanpa nama pengirim. Ia memberi, ia pula yang menerima. Sungguh, lirikmu itu salah bagi seseorang yang terbiasa menciptakan bahagianya sendiri. Hei Bruno, aku mengendarai motor bersama ibu hanya untuk mendapatkan dua tangkai bunga itu. Aku memintanya untuk mengambil gambarku saat aku tengah menggenggam bunga tersebut. Sederhana saja Bruno, aku senang akan hal itu. Aku juga mengambil beberapa gambarku dengan ibu, t...

Petang dan Yang Tak Pernah Pulang

Gambar
Pada suatu sore, aku ingin sekali terduduk lemah di hadapanmu. Aku ingin merengek seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen. Aku ingin mengadu tentang apa-apa yang sudah kulalui di sepanjang perjalanan ku-tumbuh dewasa. Aku ingin menatapmu dengan kedua mata yang diguyur hujan tanpa harus menahan badai di kemudian. Aku ingin sekali saja menjadi dinding-dinding yang runtuh dari lamanya berdiri kokoh di segala musim. Aku ingin menjadi yang bebas memaki setelah banyaknya sesak yang ku-pendam dalam jeruji kepala.  Sekali saja aku ingin menemuimu. Aku ingin melihat garis-garis yang menua bermunculan di wajahmu. Aku ingin berbincang denganmu sampai akhir hari dan malam menyambut dengan penuh hangat. Aku ingin membuat bulan yang kesepian itu merasa iri padaku karena aku tak lagi sama sepertinya. Aku ingin mengatakan pada tiap-tiap angin yang berbisik menertawakanku bahwa kini aku diperbolehkan menjadi lemah. Sekali saja, aku ingin. Aku ingin menjadi lengkap yang rumahnya utuh. Aku i...

Selamat Ulang Tahun

Gambar
Pada satu hari baik, ia lahir ke dunia yang warnanya abu-abu. Diberi nama Amanda, yang katanya pantas disayangi. Di dunia yang abu, Amanda sudah diajarkan meraba sejak ia kecil. Merasakan lembut dan kasarnya kehidupan, serta para manusia-manusianya. Seiring beranjak dewasa, Amanda mulai mengenali banyak warna yang ternyata tak hanya abu-abu saja. Terkadang ia temui biru dirasa hangat dan tenang sebuah tubuh, terkadang ia temui merah di antara yang meletup hebat sebagai ambisi, terkadang ia temui kuning di sebuah senyum yang merekah tetapi terkadang juga di sebuah tiang-tiang jalanan yang melambangkan duka, terkadang juga ia temui hitam sebagai ruam yang telanjur kelam di sebuah binar yang padam. Ada banyak warna yang menghampirinya, dan mengajarkannya bahwa hidup bukan tentang berjalan lurus saja di satu warna, tapi tentang bagaimana hidup berjalan lurus dengan makna di setiap warna yang berbeda. Begitupun dengan manusia, ia temukan banyak rupa. Terkadang ada yang menggeliat kesal, men...

Harga Untuk Sebuah Percaya

Gambar
Masih tentang Lara dan segala hal di hidupnya. Tentang harga untuk sebuah percaya yang tak pernah ternilai oleh mata uang dan larutan janji. Lara tahu sejak beberapa tahun yang lalu, hidupnya tak lagi utuh. Ia hanya berjalan dengan tulang-tulang yang rapuh, yang sesekali terjatuh, lalu bersimpuh dan mengeluh, kemudian luruh separuh. Terus begitu hingga tak ada lagi kata penuh.  Daging-daging itu mulai mengerut membentuk garis-garis usia dan lelah yang semakin tumbuh dewasa; di kepala, kedua bahu, langkah kaki, dan kantung hitam di bawah matanya. Namun, hingga saat ini yang Lara pertanyakan hanya berapa harga untuk sebuah percaya? Adakah harga yang harus ia bayar untuk sebuah percaya? Sedari kecil, Lara sudah hilang kepercayaan. Laki-laki pertama yang seharusnya menjadi seseorang yang paling ia percaya, justru menjadi laki-laki pertama yang melahirkan ingkar dalam hidupnya. Lalu, bagaimana mungkin Lara bisa kembali percaya pada mereka yang disebut manusia? Meski binar matanya semaki...

Meniti Keabadian

Gambar
  "Kamu yakin mau berangkat sekarang juga, Ka?" "Iya, Bu. Lagipula, kemarin-kemarin Saka udah tunda terus keberangkatan Saka." Melihat keras kepala putranya yang tak bisa ia luluhkan, Ibu hanya menghela napas panjang. Sejak semalam, perasaannya tak tenang. Beberapa hari pula mimpi buruk kerap kali menghampiri tidurnya. Ibu tak ingin berprasangka buruk, karena yakinnya selalu bernaung dalam doa yang Ibu percaya tak pernah Tuhan lewatkan untuk di dengar. Ibu selalu berdoa untuk kebaikan mereka, terutama anaknya, Saka. "Bu, semalem Saka minta dibuatkan nasi goreng udang. Ibu sudah buat?" tanya Saka memecah lamunan Ibu. Ditatapnya sebentar wajah Saka, sebelum akhirnya mengangguk. "Sudah, ada di meja makan." "Ya sudah, Saka makan dulu. Jadi pas Saka berangkat, Saka nggak perlu makan apa-apa lagi." Saka yang sudah rapi dengan kemeja hitam dan jeans biru mudanya berjalan meninggalkan ibunya menuju meka makan. Saka sama sekali tak memperhatikan...

Aku Manusia

Gambar
Dua telinga terpasang, siap jadi rumah cerita untuk berpulang. Dadaku juga luas menempa tabah untuk segala keluh kesah. Bahuku tangguh untuk segala airmata yang singgah untuk luruh. Lenganku terasa hangat untuk memeluk segala luka yang membuatmu remuk. Aku bersedia menjadi rumah duka dari cerita-cerita pilu yang kamu bawa untuk berlabuh. Segala tutur kata sudah kupanaskan hingga mendidih di kepala untuk segala tanyamu yang barangkali memaksaku untuk angkat suara. Bahkan, tanpa segan telah kusediakan teh manis hangat untuk kamu teguk ketika tenggorakanmu tercekat saat bercerita. Aku juga sudah menyiapkan satu kamar khusus untukmu dengan selimut tebal agar kamu dapat terlelap dalam panjangnya malam setelah kamu habiskan waktumu untuk bercerita. Aku ada, menjadi jalan yang kau tuju, teh hangat yang kau teguk, kasur empuk yang meninabobokanmu, rumah duka atas lukamu, menjadi apapun yang kau inginkan, yang mungkin tak kau dapatkan selama ini. Namun, bukan berarti kamu berhak memperlakukanku...

Ini Tentang Amanda

Gambar
Mungkin kali ini, saya akan memberinya judul apresiasi dan evaluasi diri.  Beberapa tahun lalu, tubuh ini hampir kalah oleh kerasnya kehidupan yang menggerusnya. Ajaran-ajaran yang ia terima dari setiap alur kehidupan kadang seperti makanan pokok yang segala manis dan pahit harus tetap ia cerna untuk tetap bernyawa. Tak urung, tubuh ini seringkali mengeluh sakit. Terlalu keras diajar kehidupan. Tak urung pula, segala ruam ia terima tanpa meminta.  Pernah suatu waktu, satu bungkus pil obat terasa menjadi penyembuh dari tubuh yang terasa ingin luruh dan waras yang sedikit tak utuh. Namun, hidup mengajarkan bukan perihal segera sembuh, namun perihal proses untuk tumbuh. Dan, obat bukan jalan pintas untuk bertumbuh meskipun terbilang mampu membuat sembuh. Karena pada kenyataannya, sakit tetap ada di setiap jalan yang ia tempa.  Lalu bicara perihal mimpi, beberapa tahun yang lalu, mimpinya pernah digantungkan di atap-atap semesta. Percaya bahwa tak akan melahirkan kecewa. Siap...

Hidup dan Perjalanan Pendewasaan

Gambar
Binar di sepasang netranya kini meredup, tak secerah kala pertama kali melihat dunia. Senyum di wajahnya kini memudar, tak serekah kala pertama kali melihat manusia. Harapan hanya sebuah sisa-sisa yang membungkus dinding jantungnya agar tetap berdetak ketika banyak mimpi yang terlanjur mati. Namun, ia tetap melangkah, menjejak setiap jalan dari hidup yang selalu memberi kejutan dan pelajaran untuknya menjadi dewasa. Perkenalkan, namanya Lara. Gadis berusia 18 tahun yang dipaksa menjadi dewasa melampaui usianya.  Lara kecil tumbuh tanpa utuh. Dinding-dinding yang menopang rumahnya agar tak runtuh, kini telah lebur menjadi bangunan yang kumuh. Keluarga yang semula satu saling terikat, kini menjadi satu yang tak lagi saling mengikat. Saat itu, usia Lara terlalu dini untuk mengerti bahwa cinta sebagian tak semestinya memiliki, dan bersama tak selamanya abadi. Namun, Lara dipaksa mengerti ketika mau tak mau menyaksikan sebuah perpisahan yang ditampilkan di hadapannya. Lara kecil menjadi...

Penari Belakang Layar

Gambar
Piringan hitam itu ia nyalakan. Merdu sampai di kedua telinganya. Dengan gaun putih dan sepatu baletnya, kaki-kaki itu terlatih. Berjingkat. Berputar. Bergerak membentuk pola-pola di atas marmer hitam. Di belakang layar, tubuh itu dengan gemulainya menyampaikan kedukaannya melalui tarian. Isi kepalanya ikut menari mengenang segala mimpi yang hangus jadi abu.  "Bersikaplah layaknya seorang perempuan." "Perempuan itu harus bisa merawat diri." "Perempuan itu yang bisa menari, bukan bermain dengan imaji." "Perempuan itu yang tubuhnya gemulai, bisa bersikap elegan juga." Kata-kata itu menari-menari, terbentur, terbentur, terbentur, dan lebur di kepalanya. Tubuhnya terjatuh. Dari balik sepatu balet itu, biru tercetak jelas pada permukaan kakinya. Perih, namun sebisa mungkin ia tak menampilkan wajah sedih. "Kamu sebagai perempuan itu jangan cengeng. Jangan lemah." Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Kata-kata itu menghantam dadanya dan s...

Sebuah Peringatan Kehilangan

Gambar
Akhirnya, aku dan kamu bersua kembali pada perputaran tanggal yang sama di tahun yang berbeda. Namun, kini semakin jauh langkah yang kamu bawa, semakin jelas pula bahagiamu tertera, di sana. Dan, untukku semakin jelas bahwa mengalah adalah satu-satunya jalan yang kubisa. Berjalan mundur dan pulang tanpa harapan untuk bisa bersama. Masih ingat? Beberapa tahun yang lalu, aku pernah menuliskanmu pada tempat yang sama seperti saat ini. Yang berbeda hanya perihal jarak, sisanya sama hanya tentang sebuah perasaan dan kehilangan. Beberapa tahun yang lalu, aku masih bisa melihat kedua netramu yang berbinar. Aku masih bisa melihat tawamu yang rekah. Berbicara denganmu masih menjadi hal yang mudah. Ada satu momen yang sampai saat ini tak bisa aku lupakan. Sudah jelas saat dimana kehilanganmu itu nyata karena kamu yang menjadikannya ada. Aku masih ingat bagaimana airmata itu luruh di sebuah ruangan sunyi karena tak kuasa menampilkannya di hadapanmu yang jauh berbeda dengan keadaanku saat itu. Aku...

Badut dan Sebuah Atraksi

Gambar
Jemari itu dengan gemulai menari-nari di permukaan wajah dengan sebuah kuas seukuran jari tengahnya. Ia ukir sebuah garis panjang berwarna merah yang menyerupai sebuah senyuman yang melewati sudut-sudut bibirnya. Ia biarkan merah yang pekat itu menutupi memarnya. Lalu, ia campurkan warna merah dengan sedikit warna hitam agar terlihat lebih pekat dari sebelumnya. Dibuatnya lingkaran dengan tangan yang gemetar di sekitar kelopak matanya. Kemudian ia raih sebuah bola plastik berukuran kecil dengan warna yang serupa dengan bibirnya, lalu ia pasangkan pada ujung runcing hidungnya. Satu hal tak boleh ia lupakan, ialah sebuah topi hitam dengan bagian atas yang memanjang. Di sana tempat segala hal yang tak terduga terjadi. Tempat sembunyi sebuah rasa sakit. Tubuh ringkih, tulang punggung yang bungkuk, bahu yang tak lagi tegap, kerutan di sudut-sudut matanya yang semakin terlihat jelas, kulit-kulit yang mulai mengendur. Di tatapnya pantulan cermin di hadapannya yang menampilkan seorang badut tu...

Jika Suatu Hari Aku Jatuh Cinta

Jika suatu hari aku jatuh cinta, percayalah itu bukan padamu lagi. Tak akan kutaruh harapanku pada setiap langkah pulangmu yang bukan aku. Tak akan kusisipkan doa-doa pada setiap mimpi-mimpi yang kau inginkan tanpa aku. Warasku sudah sepenuhnya utuh setelah kala itu kau buat diriku terjatuh dengan perasaan yang tak pernah kau anggap sungguh-sungguh.  Jika suatu hari aku jatuh cinta, namamu tak akan pernah tersemat barang sedikit pun dalam lafal ucapanku. Tentangmu tak akan pernah tertulis di dalam lembar-lembar cerita dan puisi-puisiku. Karena sekali kau memutuskan meninggalkankan, maka saat itu pula segala tentangmu berhenti aku kisahkan, berhenti aku tuliskan. Jangan mengharapkan bahwa aku akan kembali meminta seperti semula, karena kali ini telah berbeda. Tak ada hati yang rela dibuat patah untuk kesekian kali. Tak ada bodoh yang terasa nyaman di dalam diri. Tak ada namamu lagi. Jika suatu hari aku jatuh cinta, hanya perasaan enggan yang tersedia untukmu. Segala tentangmu akan t...

Kepingan Mimpi dan Rasa Sakit

Aku mengembuskan napas kecewa. Bahuku melorot begitu saja. Terasa begitu berat beban yang kubawa selama ini tak membuahkan hasil yang kuinginkan. Kepalaku tertunduk lemas. Airmataku jatuh begitu saja tanpa bisa aku cegah. Satu. Satu. Semakin deras. Isakan yang semula tenang menjadi kencang. Kedua bahuku bergetar. Jantungku berdebar hebat. Tak ada namaku di sana. Tak kutemukan namaku di barisan hijau. Padahal tak pernah aku panjatkan penolakan, atau lebih parahnya penyesalan. Aku kalah bahkan sebelum dimulai. Dipaksa mundur teratur padahal hanya satu langkah lagi mimpiku tergapai. Rasanya begitu sesak mengingat bagaimana mimpi di bangun tinggi-tinggi. Malam yang dijadikan untuk terjaga mengerjakan algoritma yang terlampau sulit. Pagi yang dijadikan sebagai awal dengan tugas bahasa yang berlembar-lembar. Siang yang terasa begitu terik untuk mengerjakan bahasa asing dengan kamus-kamus tebal. Lalu petang yang terlampau jenuh dijadikan sebagai bahasan sejarah yang terasa memuakkan. Perjuang...

Secangkir Kopi Untuk Biru

Kepulanganmu tak pernah menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Tak pernah pula kutanam rindu. Harapan tak pernah tumbuh, sudah sejak lama ia kubunuh. Jangan beri aku pertanyaan, sebab jawab tak pernah kusiapkan dalam lembaran kalimatku. Biarkan saja pulangmu menjadi pulang paling sederhana. Tanpa ada kudapan di atas meja. Tanpa ada sambutan kembang api yang di langitkan. Biar saja hanya secangkir kopi hitam yang kusuguhkan dengan rasa yang sama pahitnya dengan kekecewaan yang mungkin kau terima. Biru, pulangmu tak pernah ada dalam ceritaku. Tak pernah ada dalam inginku. Kembalilah pergi setelah kau habiskan kopimu yang barangkali membuat tenggorokanmu meronta tak terima. "Kinar, kau tak menambahkan gula sedikit pun?" Tidak, Biru. Aku tak menambahkan rasa manis pada cangkir kopimu. Aku tak ingin kau berlama-lama dan menjadi terbiasa untuk pulang setelah pergi begitu lama. "Kinar, nanti malam aku akan mengajakmu ke bukit bintang. Di sana kau akan melihat rasi yang kau suka. Kau...

Meminjam Telinga Tuhan

Malam ini lampu jalan padam, kendaraan lupa jalan pulang. Tersesat di persimpangan arah. Timur, Utara, Selatan, Barat. Tak ada yang tahu mana arah pergi untuk pulang, atau pulang untuk pergi. Gemintang tak membentuk rasi penunjuk arah, para nelayan merenung di tengah dinginnya laut biru. ingin pulang. Rindu masakan Ibu. Rindu rumah. Lalu, tangan-tangan itu tangguh menengadah. terbuka lebar-lebar berisi garis-garis takdir yang memanjang. Tubuhnya gamang sebab kantuk mulai menyerang. Lalu lintas ingar. Banyak kecelakaan di jalan karena lampu jalan yang padam. Ombak di laut sedang pasang. Para nelayan taruh jaring jika nantinya harus menyatu pada palung terdalam. Banyak ikan-ikan yang terlepas, bersorak ria. Sedangkan di rumah, Ibu harap-harap cemas. Anak sudah mengigau memanggil nama bapak. Pak, jangan pergi. Jangan pergi. Ibu terlalu cemas untuk mudah mengerti makna igauannya.  pintu di buka lebar. pagar-pagar mulai rimpuh oleh kedatangan yang belum juga tiba. Angin berdesau kencang...

Alter Ego

Aku heran dengan manusia yang hanya ingin didengarkan. memangnya hanya mereka yang memiliki cerita? memangnya hanya mereka yang memiliki luka? tapi, di saat aku ingin berbagi, mereka memilih pergi. Di saat aku ingin bercerita, mereka memutuskan tiada. Mereka selalu memilih tuli di saat mampu mendengarkan. Mereka selalu memilih bisu di saat mampu memberi saran. Aku heran, kenapa mereka begitu tak adil? "Kalau mereka bersikap adil, gak akan ada hukum." Aku menatapnya. Ia menjadi satu-satunya yang mau mendengarkan. Meski aku tahu, terkadang ia sering menyalahkanku. "Hukum untuk mengadili, manusia untuk menghakimi. begitu maksudmu?" Aku bertanya padanya dan sesuai dugaan, ia menganggukan kepala. "Tapi kadang hukum juga gak adil." kataku lagi. "Bisa beri aku contoh?" "Ketika manusia membunuh, mereka hanya dihukum di balik jeruji. Kenapa tak dibalas dengan membunuh juga? itu baru adil, kan?" Kau menggeleng, kau tak menyetujui ucapanku. Ah, te...

Tuan 24 November yang hilang

Sebenarnya kisah ini, mungkin gak pantas di sebut sebuah kisah, karena tak pernah lengkap, tak pernah rampung.  Mungkin juga gak ada yang harus diceritakan, selain dua orang yang memilih berpisah dan berakhir dengan saling mengikhlaskan, meski hanya satu yang menaruh perasaan.  Untuk kalian, aku akan menceritakan kedua orang itu.  Yang salah satunya ialah aku, yang menaruh perasaan kepada seorang tuan yang akhirnya pergi.  ~•~ Semesta mempertemukan aku dengannya. Bukan hanya sekedar tatap yang bertemu. Bukan pula menjadi perasaan yang menyatu. Tapi, ini tentang atap yang tak pernah sanggup, dan tentang rasa yang tak pernah cukup.  Aku dengannya berada di satu atap yang sama. Menempuh perjalanan dengan tujuan yang sama.  Kami adalah sebatas teman. Iya, hanya teman.  "you are my best fucking friend" Begitu katanya padaku saat terakhir kali kami bertemu.   Awalnya, aku pikir tidak akan ada sesuatu yang terjadi, tidak akan ad...