Secangkir Kopi Untuk Biru
Kepulanganmu tak pernah menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Tak pernah pula kutanam rindu. Harapan tak pernah tumbuh, sudah sejak lama ia kubunuh. Jangan beri aku pertanyaan, sebab jawab tak pernah kusiapkan dalam lembaran kalimatku.
Biarkan saja pulangmu menjadi pulang paling sederhana. Tanpa ada kudapan di atas meja. Tanpa ada sambutan kembang api yang di langitkan. Biar saja hanya secangkir kopi hitam yang kusuguhkan dengan rasa yang sama pahitnya dengan kekecewaan yang mungkin kau terima.
Biru, pulangmu tak pernah ada dalam ceritaku. Tak pernah ada dalam inginku. Kembalilah pergi setelah kau habiskan kopimu yang barangkali membuat tenggorokanmu meronta tak terima.
"Kinar, kau tak menambahkan gula sedikit pun?"
Tidak, Biru. Aku tak menambahkan rasa manis pada cangkir kopimu. Aku tak ingin kau berlama-lama dan menjadi terbiasa untuk pulang setelah pergi begitu lama.
"Kinar, nanti malam aku akan mengajakmu ke bukit bintang. Di sana kau akan melihat rasi yang kau suka. Kau bisa menemukan sirius."
"Jangan mengatakan itu, Biru. Sudah sejak lama aku tak menyukai benda-benda kecil di langit itu."
Semenjak kepergianmu, aku tak lagi menyukai para bintang itu. Aku tak lagi mempercayai Rasi Mayor sebagai penunjuk arah utara. Pula dengan Rasi Cyrux sebagai penunjuk arah selatan. Aku juga tak lagi mempercayai Sirius yang dikatakan sebagai bintang paling terang. Bagaimana jika dialah yang pertama mati nantinya?
"Kenapa, Kinar? Apa kau marah padaku?"
Sudah sejak lama, Biru. Sudah sejak lama amarahku mengendap.
"Kau marah padaku. Diammu mengatakan itu. Apa kau marah karena kepulanganku?"
"Kau terlalu banyak bertanya, Biru."
"Kau yang terlalu banyak diam. Jangan salahkan aku yang menjadi banyak bertanya."
Baiklah, Biru. Kamus bahasaku sudah habis. Tak ada lagi kosakata untuk jawaban dari tanyamu. Biar saja diamku menjadi jawaban yang membingungkanmu. Bukankah saat kau pergi, kau biarkan tanyaku mengudara begitu saja tanpa jawab?
"Tak apa, Kinar. Aku pantas menerimanya. Kepulanganku seharusnya tak pernah terjadi. Sudah terlalu sering aku pulang untuk kembali pergi. Kau berhak untuk marah. Kau berhak atas itu. Tak apa, Kinar."
Ya, seharusnya tak apa-apa. Seharusnya aku terbiasa dengan langkahmu yang tak pernah berumah. Kau pulang. Kau pergi. Seharusnya aku terbiasa.
Tapi, tidak, Biru. Rasa pahit yang tengah kau tenggak hingga tandas itu sebenarnya adalah rasa sakit yang selama ini kuterima dari setiap kepergianmu.
"Lusa pagi aku kembali pergi. Semoga dua hari menjadi cukup. Maaf, lagi-lagi aku menyakitimu."
Meski pahit, sudah kau tandaskan kopimu. Kau bangkit dengan begitu tergesa. Mungkin sedari awal, itu yang kau inginkan.
"Aku pulang, Kinar. Esok pagi temui aku di bukit bintang."
Pulang yang seperti apa lagi, Biru? Bukit bintang mana yang menyuguhkan para bintang saat pagi? Mengapa kau tak langsung pergi saja?
Kau hanya sedang mengulur waktu, bukan?
Komentar
Posting Komentar