Harga Untuk Sebuah Percaya
Masih tentang Lara dan segala hal di hidupnya. Tentang harga untuk sebuah percaya yang tak pernah ternilai oleh mata uang dan larutan janji.
Lara tahu sejak beberapa tahun yang lalu, hidupnya tak lagi utuh. Ia hanya berjalan dengan tulang-tulang yang rapuh, yang sesekali terjatuh, lalu bersimpuh dan mengeluh, kemudian luruh separuh. Terus begitu hingga tak ada lagi kata penuh.
Daging-daging itu mulai mengerut membentuk garis-garis usia dan lelah yang semakin tumbuh dewasa; di kepala, kedua bahu, langkah kaki, dan kantung hitam di bawah matanya.
Namun, hingga saat ini yang Lara pertanyakan hanya berapa harga untuk sebuah percaya? Adakah harga yang harus ia bayar untuk sebuah percaya?
Sedari kecil, Lara sudah hilang kepercayaan. Laki-laki pertama yang seharusnya menjadi seseorang yang paling ia percaya, justru menjadi laki-laki pertama yang melahirkan ingkar dalam hidupnya. Lalu, bagaimana mungkin Lara bisa kembali percaya pada mereka yang disebut manusia?
Meski binar matanya semakin redup, Lara tak pernah buta untuk melihat bahwa manusia bertingkah semakin lupa akan doa, dosa, dan dogma. Manusia semakin menjauh dari ayat, adat, dan adab.
Lara tak pernah menaruh percaya pada siapa pun lagi. Sebuah percaya bukan benda yang mampu diperjual-belikan dengan harga murah, karena manusia akan merasa besar kepala untuk ingkar dan membelinya lagi dengan mudah. Lara tak pernah menempatkan sebuah kepercayaan sebagai jalang yang dijual murah untuk dipakai, lalu setelahnya dibiarkan rusak tak bernilai. Tidak seperti itu. Baginya sebuah kepercayaan adalah harga mati yang sekali dihancurkan, tak dapat hidup kembali. Tak ada untuk yang kedua kali.
Lara sudah hilang kepercayaan pada manusia dan bahkan pada dunia. Baginya segala hal yang bersangkutan dengan manusia akan berujung luka dan kecewa, karena itu tak pernah ada percaya yang ia taruh di sana. Ia biarkan manusia-manusia itu bersikap seperti orang gila, berbicara dengan bisa yang meracuni manusia lainnya, tertawa dengan suara kencang yang memekakkan telinga menutupi rintihan yang harusnya didengar, berkelana dengan arah yang tak pernah menemukan ujung namun meninggalkan luka setiap kali berkunjung, bercerita dengan ajang perlombaan adu nasib yang paling menderita, dan menangis dengan raut wajah dibuat begitu menyakitkan agar mendapat perhatian. Sudah begitu banyak rupa manusia yang Lara temui dan tak ada satupun yang Lara percaya. Manusia dan dusta seperti daging dan tulang, seperti saraf dan darah, seperti jantung dan detaknya. Dimana manusia hidup, dusta menjadi napas yang ia hirup.
Hingga detik ini, Lara masih mempertanyakan; Adakah yang harus ia percaya? Siapa?
Karena, Lara hidup dengan tubuh, namun jiwanya sudah hilang separuh, dan kepercayaannya sudah runtuh.
Komentar
Posting Komentar