Dikebumikan
Nala banyak kecewa, sebab ia terlampau piawai dalam menanamkan rasa pula asa. Bagaimana jika dua manusia dipertemukan? Manusia yang mudah menebar janji, lalu bertemu manusia yang mudah menaruh imaji? Bukankah, perihal Nala sudah cukup menjelaskan itu semua?
Nala senang duduk termenung. Isi kepalanya seperti sebuah pasar malam, riuh. Ada bianglala yang berputar yang terkadang membuatnya seringkali harus membeli obat sakit kepala. Ada komedi putar dengan tawa anak kecil yang begitu keras sampai tidak terdengar decit mesin tua yang seringkali mati mendadak. Ada pula rumah hantu yang sepi pengunjung sebab terlalu keramat untuk dikunjungi, terlalu gelap dan menakutkan dan menyesakkan. Ada yang jual harum manis yang terlalu sering dibeli anak kecil itu hingga gigi sampai ke hatinya terasa sakit. Yang manis, berakhir ironis. Di sana, di kepalanya terlalu ramai, lalu tenang kapan akan sampai?
Nala itu senang menghitung. Menghitung langkah seseorang yang berjalan mundur, misalnya. Atau menghitung persentase kekecewaan dan batas pengampunan yang ia punya. Nala juga mampu menghitung sudah berapa kali manusia itu mengingkari janji. Nala piawai menghitung detak jantungnya yang tak lagi menggebu-gebu di tiap laju detak jarum jam.
Nala juga senang berkebun. Tapi tanahnya terlalu sukar. Tandus dan gersang. Pantas saja Nala menanam sebuah harap, yang tumbuh hanya pengap. Nala menaruh banyak benih harapan, sudah sempat tumbuh merambat, tapi berakhir mati mengecewakan. Ternyata, manusia itu tidak bantu menyiraminya. Mungkin tidak ingin menuai yang Nala tanam.
Nala bingung. Nala punya kamus bahasa, tapi manusia itu tak bisa diajak bicara. Nala punya banyak waktu, tapi manusia itu terlalu sukar bertemu. Nala punya dunia, tapi manusia itu merenggutnya.
Lalu, setelahnya apalagi?
Nala senang duduk termenung. Menanti rasa itu tiba sampai ujung. Menanti anak kecil itu pulang dengan wajah murung.
Nala senang menghitung. Menghitung berapa lama ia akan duduk termenung. Menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghadirkan senyum di wajah anak kecil yang murung.
Nala senang berkebun. Menanam keyakinan untuk beranjak setelah bertahun-tahun. Menanam ikhlas untuk akhirnya dapat tersenyum rimbun.
Lalu, Nala tak lagi bingung. Segala perihal manusia itu akan dikebumikan. Tak perlu di doakan, sebab Nala yang butuh tenang. Tak perlu ditaburkan berbagai bunga, sebab Nala saja sudah layu sejak lama. Tak perlu dikunjungi, sebab Nala saja terbiasa sendiri.
Yang mati, yasudah mati.
Jangan hidup kembali.
Jangan menaruh harap untuk kembali.
Jangan minta Nala mengulanginya lagi.
Komentar
Posting Komentar