Hidup dan Perjalanan Pendewasaan


Binar di sepasang netranya kini meredup, tak secerah kala pertama kali melihat dunia. Senyum di wajahnya kini memudar, tak serekah kala pertama kali melihat manusia. Harapan hanya sebuah sisa-sisa yang membungkus dinding jantungnya agar tetap berdetak ketika banyak mimpi yang terlanjur mati. Namun, ia tetap melangkah, menjejak setiap jalan dari hidup yang selalu memberi kejutan dan pelajaran untuknya menjadi dewasa.

Perkenalkan, namanya Lara. Gadis berusia 18 tahun yang dipaksa menjadi dewasa melampaui usianya. 

Lara kecil tumbuh tanpa utuh. Dinding-dinding yang menopang rumahnya agar tak runtuh, kini telah lebur menjadi bangunan yang kumuh. Keluarga yang semula satu saling terikat, kini menjadi satu yang tak lagi saling mengikat. Saat itu, usia Lara terlalu dini untuk mengerti bahwa cinta sebagian tak semestinya memiliki, dan bersama tak selamanya abadi. Namun, Lara dipaksa mengerti ketika mau tak mau menyaksikan sebuah perpisahan yang ditampilkan di hadapannya. Lara kecil menjadi penonton setia yang setiap harinya hanya bungkam melihat ruam yang semakin menganga dan rumah yang semakin retak. 

Lara kecil tak pandai bahasa, ia hanya mengerti beberapa raut wajah ketika ayahnya marah atau ibunya menangis. Lara kecil tak pernah mempertanyakan apa yang salah diantara keduanya, karena yang dirinya tahu bahwa keduanya hanya sedang mencari-cari kesalahan.

Lalu, di akhir pertunjukan, Lara kecil disuguhkan adegan perpisahan yang terwujud di kenyataan. Kedua orangtuanya berpisah. Lara kecil hanya bisa pasrah dan berserah. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah berdinding pucat yang retak dan atap yang semakin sesak. 

Kemudian, Lara beranjak dewasa tumbuh menjadi gadis remaja. Ibunya yang beberapa tahun lalu sudah menikah dengan laki-laki yang sempat ia benci, namun kini dengan terpaksa ia terima. Lara memiliki adik laki-laki yang terkadang terlihat menyebalkan karena rasa benci Lara yang entah bagaimana terlampiaskan kepada adiknya itu. 

Lara, gadis remaja yang duduk di kursi sekolah dengan seragam putih biru. Yang setiap harinya datang ke sekolah dengan rasa kesal, wajah ditekuk, emosi yang tersulut. Lara tak pernah mempersoalkan segala hal yang terjadi pada kehidupannya di masa kecil. Lara yang saat ini tak jauh berbeda, karena bungkam menjadi bahasanya dalam sebuah paham.

Terkadang, saat pulang sekolah, Lara sering menyembunyikan dirinya di dalam kamar, sebuah ruangan paling nyaman untuk bersembunyi dari banyaknya mata dan tanya perihal mengapa dirinya begitu tergesa mengunci dirinya sendiri. Karena, Lara ingin menangis, tanpa diberikan sederet kalimat tanya yang tak akan mengobati lukanya.

Lara hanya gadis remaja yang membuat para orangtua dengan stigmanya menganggap Lara sedang dilanda emosi yang tidak stabil. Terkadang menangis, tertawa, marah, diam, tanpa tahu jawaban apa yang harus diberikan setiap kali tanya dilontarkan.

Lara memang gadis remaja, namun sejak kecil dirinya sudah dipaksa menjadi dewasa. Ya, Lara memang gadis remaja yang menaruh rasa cemburu ketika melihat teman-temannya dapat bersenda gurau dengan sosok laki-laki yang dulu ia sebut sebagai ayah, sedangkan dirinya tak bisa melakukan hal yang serupa. Memang, ia sudah memiliki ayah baru, namun rasanya tetap berbeda. Ada hal yang serupa, yaitu pertengkarannya.

Seperti memutar ulang kaset yang rusak, Lara remaja disuguhkan kembali dengan raut marah dan tangis serta teriakan yang menjadi sarapannya di pagi hari dan dongeng di malam hari ketika seharusnya ia dapat dengan tenang terlelap.

Terkadang, Lara remaja berpikir mengapa disaat keluarga lain dapat menghadirkan cerita manis dan harmonis, justru keluarganya menciptakan tangis dan cerita tragis.

Lalu, Lara remaja tumbuh menjadi gadis yang lebih banyak diam, suaranya adalah kata-kata yang hanya berani tampil di antara lembaran kertas usang, tanpa ingin tampil dan berkumandang di telinga-telinga manusia.

Dengan pakaian putih abu, Lara tumbuh dengan warna hidup yang kelabu. Telinganya semakin pengang mendengar pertengkaran yang semakin lantang berkumandang. Matanya semakin perih menyaksikan bagaimana setiap rasa sakit tercipta diantara ruang-ruang yang menyimpan rekaman kejadian, serta rongga kepala yang memutarnya ulang.

Pada tahap muak, keduanya memutuskan berpisah dengan masing-masing keras kepala yang tak mau mengalah. Jika keluarga lain menjadi yang saling mengerti, maka keluarga Lara menjadi yang saling menghakimi. 

Namun, tak ada yang tahu bahwa Lara tumbuh dengan serpihan-serpihan waras yang berusaha ia kumpulkan menjadi satu. Lalu, sampai pada satu hari di Desember, Lara melafalkan sebuah kalimat dengan lantang, meski tubuhnya ketar ketir dan detaknya yang memburu. Sebuah penuturan tentang rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan dari hadapan manusia dan semesta. Namun, yang jauh lebih sakit ketika ibunya tak memahami rasa sakitnya dan justru menyalahkannya dengan berbagai alasan.

Lara berusaha meyakinkan, dan mungkin dengan terpaksa ibunya menuruti. Pada satu pagi di Desember, Lara ditemani ibu dan neneknya berkunjung ke sebuah rumah sakit di dekat tempat tinggalnya. Tidak, tubuh Lara baik-baik saja, justru yang sakit ialah jiwanya.

Ya, Lara berkunjung ke rumah sakit bagian kejiwaan. Mungkin sebagian manusia ketika mendengar itu akan mengklaim bahwa Lara sudah gila. Karena stigma mengenai kedua hal itu sudah melekat erat. Tak ada yang tahu bagaimana rasa tertekan itu menghinggapi dada Lara dan sembahyang setiap harinya tanpa ada tempat untuk bercerita. Lalu, satu-satunya jalan pintas yaitu datang ke rumah sakit bagian kejiwaan dan menceritakan segala yang ia rasakan.

Saat namanya dipanggil, Lara masuk dengar gemetar seorang diri, sempat menampilkan senyum di hadapan ibunya untuk memberitahu bahwa dirinya akan baik-baik saja. Namun, saat sampai di dalam, tangisnya lebih dahulu tumpah sebelum cerita itu berhasil ia rampungkan. Tangis yang selama ini hanya bisa ia lepaskan diam-diam disaat yang lain terpejam. 

Namun, dengan keterlaluannya, manusia yang menyandang gelar ahli kejiwaan itu tak memberi respons baik terhadap dirinya dan justru memberikan selembar kertas berisi perintah untuknya menebus obat anti-depresan. Saat itu, Lara yang sudah pasrah hanya menurut saja. Ia beranjak keluar dan memberikan kertas itu pada ibunya.

Dua obat penenang berhasil ia bawa pulang. Lara hanya tertawa dalam hatinya, merasa miris dengan hidupnya sendiri. Berniat untuk bercerita agar merasa lega, justru diberi obat yang membuat manusia-manusia itu semakin berpikir bahwa dirinya gila. Hidup memang terkadang selucu itu untuk sebuah rasa sakit ditertawakan.

Lara tahu obat itu tak akan mampu benar-benar mengobati rasa sakitnya. Justru membuatnya semakin parah. Lara hanya sekali meminum obat itu, dan seterusnya memutuskan untuk mengobati dirinya sendiri. Ia mencari obat paling ampuh yaitu dengan adanya kebahagiaan.

Meskipun keluarganya tak lagi utuh, dirinya belum sepenuhnya sembuh, Lara tetap berusaha tumbuh. Segala rasa sakit yang ia terima sejak kecil memaksanya menjadi dewasa, baik cara pandangnya dan sikapnya.

Meskipun manusia tak memperlakukannya dengan baik, setidaknya Lara akan tetap berusaha menjadi baik untuk dirinya sendiri.

Hingga saat ini, Lara masih bisa melihat dunia dan segala cara kehidupan untuk mendewasakannya. 

Karena, Lara percaya, pelan tapi tumbuh, untuk mencapai sembuh, meski tak lagi utuh.

Dan, Lara tahu bahwa hidup akan terus memberikan sebuah kejutan yang tak akan ia duga dan dari sanalah ia dapat tumbuh, menjadi dewasa, menjadi manusia yang manusiawi.

Luka yang ia terima, rasa sakit yang ia emban selama bertahun-tahun adalah cara Tuhan membentuknya, bukan membenturkannya.

Kini, Lara dalam proses menjadi manusia sesembuhnya dan sesungguhnya.


–Amanda Putri

13 Desember 2020

Minggu, 00:29







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petang dan Yang Tak Pernah Pulang

Dikebumikan

Selamat Ulang Tahun