Bruno, Aku Memilikinya

Hei Bruno, aku mendengar salah satu lagumu. Aku menaruh harapan pada satu bait lirikmu. Kini, aku mendapatkannya. Dua tangkai bunga yang entah apa namanya, tapi yang kutahu aku menyukai warna dan bentuknya. Aku memberikannya untuk diriku sendiri, tahu bahwa ia perlu diapresiasi. Tak perlu oranglain mengasihi.


Hei Bruno, lirikmu yang itu sedikit aku koreksi karena kamu keliru jika mengharapkan oranglain mampu membahagiakan seseorang yang kau cintai. Karena pada nyatanya seseorang itu mencintai dan menyayangi dirinya sendiri, lalu memberikan kebahagiaan dalam rupa tangkai bunga tanpa nama pengirim. Ia memberi, ia pula yang menerima. Sungguh, lirikmu itu salah bagi seseorang yang terbiasa menciptakan bahagianya sendiri.


Hei Bruno, aku mengendarai motor bersama ibu hanya untuk mendapatkan dua tangkai bunga itu. Aku memintanya untuk mengambil gambarku saat aku tengah menggenggam bunga tersebut. Sederhana saja Bruno, aku senang akan hal itu. Aku juga mengambil beberapa gambarku dengan ibu, tak lupa kedua bunganya. 


Hei Bruno, yang aku pelajari saat itu bahwa tak baik menaruh harapan pada oranglain. Kita harus tetap berdiri di kaki sendiri. Tidak pula menggantungkan kebahagiaan kita dalam diri oranglain. Jika untuk mereka saja kita menjadi yang mampu, maka untuk diri sendiri, seharusnya kita jauh lebih mampu. Jika untuk mereka saja kita menjadi yang rela memberi, maka untuk diri sendiri, seharusnya kita lebih banyak memberi. Semestinya kita mampu menciptakan bahagia sendiri, dan kehadiran oranglain hanya untuk menjadikan bahagia itu genap.


Jangan cari bahagia pada tubuh manusia.


Tapi Bruno, bahagiaku saat ini genap. Aku punya seseorang yang melengkapi itu. Dia tidak memberikanku bunga seperti lirik yang ada di lagumu. Tapi dia sangat baik. Kau tahu, Bruno? Bunga bukan satu-satunya yang menghadirkan bahagia. Aku bahagia saat aku memberikan dua tangkai bunga itu untuk diriku sendiri. Tapi, bahagiaku bertambah ketika memiliki seseorang yang dapat menjadi rumah untuk cerita perjalananku saat membeli bunga. Iya, Bruno. Dia laki-laki yang baik, terlampau baik. Dua tangkai bunga tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan segala hal yang sudah ia berikan padaku. Ia memberiku ruang untuk bercerita, mendengarkan dengan baik. Tapi dia sedikit menyebalkan, Bruno. Tidak peka! Rasanya ingin aku pukul kepalanya dan berkata "jadi cowok yang peka dong!" Tapi alih-alih melakukan hal buruk itu, aku lebih memilih bersikap seolah aku sangat marah padanya dan menjadi perempuan yang cuek. Aku selalu suka saat ia membujukku. Aku selalu suka setiap kali ia memanggilku dengan sebutan "sayangku cintaku manisku." Rasanya ingin sekali aku pamerkan pada seisi dunia. Kalau pun bisa, aku ingin sepertimu yang membuatkan lagu perihal jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama.

Terdengar sangat menggelikan, bukan? Memang perihal jatuh cinta, tak pernah ada yang tak berlebihan.


Hei Bruno, aku tak pernah melihatnya cemburu. Itu membuatku mempertanyakan apakah ia benar-benar menyayangiku atau tidak?

Ia mengatakan bahwa ia mempercayaiku. Lalu, apa kabar aku yang mudah cemburu terhadap hal-hal kecil? Apa itu berarti aku tidak mempercayainya?!


Itu juga menyebalkan ih! 


Tapi Bruno, kalau dia sedang baca sampai paragraf ini, aku hanya ingin memberitahu satu hal padanya. Aku tak pernah marah yang sungguh-sungguh, apalagi berlarut-larut. Dia sering menegurku karena mudah sekali marah, sampai aku berpikir apakah salah satu bentuk perasaanku yang itu sangat membebankannya? 

Padahal ya, Bruno, sebenarnya saat aku marah dan dia membujukku, itu terlihat sangat menggemaskan. Kalau dirinya ada di hadapanku saat itu, mungkin bisa langsung aku peluk. Toh, siapa yang bisa marah lama-lama kalau yang dimarahinnya selucu itu?

Tapi, aku rasa dia tidak paham itu, Bruno. Kan, sudah kukatakan kalau dia itu tidak peka. Makanya aku tulis ini supaya dia jauh lebih memahami. Dan, maaf jika banyak kurangku yang membuatnya terus memaklumi.


Hei Bruno, aku tak mencari bahagia pada tubuh manusia lain. Tapi ia hadir dalam rupa bahagia yang Tuhan berikan untukku. Aku hanya ingin bahagiaku kini tetap genap dengan kehadirannya.


Beritahu dia, Bruno, tolong jangan berpikir untuk pergi. Meskipun kadang amarahku mudah sekali meluap, tapi ia harus tahu bahwa menyayanginya, aku sangat.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petang dan Yang Tak Pernah Pulang

Dikebumikan

Selamat Ulang Tahun