Aku Manusia
Dua telinga terpasang, siap jadi rumah cerita untuk berpulang. Dadaku juga luas menempa tabah untuk segala keluh kesah. Bahuku tangguh untuk segala airmata yang singgah untuk luruh. Lenganku terasa hangat untuk memeluk segala luka yang membuatmu remuk. Aku bersedia menjadi rumah duka dari cerita-cerita pilu yang kamu bawa untuk berlabuh. Segala tutur kata sudah kupanaskan hingga mendidih di kepala untuk segala tanyamu yang barangkali memaksaku untuk angkat suara. Bahkan, tanpa segan telah kusediakan teh manis hangat untuk kamu teguk ketika tenggorakanmu tercekat saat bercerita. Aku juga sudah menyiapkan satu kamar khusus untukmu dengan selimut tebal agar kamu dapat terlelap dalam panjangnya malam setelah kamu habiskan waktumu untuk bercerita. Aku ada, menjadi jalan yang kau tuju, teh hangat yang kau teguk, kasur empuk yang meninabobokanmu, rumah duka atas lukamu, menjadi apapun yang kau inginkan, yang mungkin tak kau dapatkan selama ini.
Namun, bukan berarti kamu berhak memperlakukanku tidak selayaknya manusia. Telinga memang tak dapat di lepas-pasang, tapi bukan berarti 24/7 selalu siap ketika cerita dan segala lukamu datang. Pintu rumahku juga terkadang tak selalu terbuka, terkadang tertutup saat pemilik di dalamnya sedang ada amarah yang meletup. Teh manis hangat juga terkadang tak lagi hangat dan tak lagi terasa manis. Akan terasa hambar ketika pemilik rumah dengan airmatanya sedang terkapar. Kamar khusus dengan selimut tebal yang pernah kau jadikan tempat terlelap terkadang tak selamanya meninabobokan, justru menjadi tempat segala ingatan dan rasa sakit berputar dalam panjangnya malam yang akhirnya membuat pemilik rumah terjaga semalaman.
Dari segala cerita dan lukamu, kamu hanya perlu tahu, bahwa yang kamu jadikan muara bukan berarti tak pernah berduka.
Aku yang selalu pasang badan setiap tubuhmu yang lelah ingin tumbang. Aku yang selalu mendengarkan setiap ceritamu meruah mencari rumah. Namun, mungkin aku lupa, mungkin kamu juga lupa, bahwa kita sama-sama manusia.
Satu pihak saja tak akan seimbang. Satu mendapat tenang, satu merasa bimbang. Satu mendapat rumah bercerita, satu tak tahu kemana harus bermuara. Seharusnya, mendengarkan menjadi saling, bukan paling. Ya, seharusnya.
Namun, justru kamu agungkan segala cerita lukamu itu. Mengatakan bahwa kamulah yang paling menderita, kamu yang layak mendapatkan belas kasih, kamu yang layak bercerita. Sedangkan, aku tidak. Kelayakanku, kamu tempatkan hanya sebagai pendengar, bukan yang juga harus didengar. Bagimu, lukamu itu urusan genting, sedangkan, lukaku tak penting. Bagimu, lukamu harus sembuh, sedangkan, lukaku biarkan saja semakin tumbuh.
Hidup memang terkadang tidak adil. Akan selalu ada pihak yang dirugikan. Berat sebelah. Apapun masalahnya. Namun, bolehkah aku bersikap egois sekali ini saja?
Aku hanya ingin bercerita juga. Sama sepertimu.
Selama ini, terlalu banyak yang aku dengar. Segala cerita darimu yang itu-itu saja yang setiap harinya kau keluhkan. Tentang patah hati yang tak seharusnya patah, karena sedari awal sudah diperingatkan bahwa itu salah. Kamunya bebal. Lalu, aku yang jadi tumbal. Selucu itu. Lucukah? Atau terdengar miris?
Aku pernah mencoba menukar posisi, kamu pendengar dan aku pencerita. Namun, baru saja aku memulai, sudah kamu akhiri. Kamu kembali tukar posisi, seolah aku bukan pencerita yang pantas didengarkan.
Aku juga manusia. Tolong.
Apa salahnya menjadi saling dalam hal mendengar?
Kamu punya telinga. Aku punya telinga. Bukankah seharusnya bisa untuk saling?
Komentar
Posting Komentar