Meniti Keabadian
"Kamu yakin mau berangkat sekarang juga, Ka?"
"Iya, Bu. Lagipula, kemarin-kemarin Saka udah tunda terus keberangkatan Saka."
Melihat keras kepala putranya yang tak bisa ia luluhkan, Ibu hanya menghela napas panjang. Sejak semalam, perasaannya tak tenang. Beberapa hari pula mimpi buruk kerap kali menghampiri tidurnya. Ibu tak ingin berprasangka buruk, karena yakinnya selalu bernaung dalam doa yang Ibu percaya tak pernah Tuhan lewatkan untuk di dengar. Ibu selalu berdoa untuk kebaikan mereka, terutama anaknya, Saka.
"Bu, semalem Saka minta dibuatkan nasi goreng udang. Ibu sudah buat?" tanya Saka memecah lamunan Ibu. Ditatapnya sebentar wajah Saka, sebelum akhirnya mengangguk.
"Sudah, ada di meja makan."
"Ya sudah, Saka makan dulu. Jadi pas Saka berangkat, Saka nggak perlu makan apa-apa lagi."
Saka yang sudah rapi dengan kemeja hitam dan jeans biru mudanya berjalan meninggalkan ibunya menuju meka makan. Saka sama sekali tak memperhatikan kerutan-kerutan kegelisahan di kening sang ibu.
Sementara Saka tengah makan, ibu sibuk bergelut dengan perasaannya sendiri. Sedikit gamang, ibu berjalan ke arah sebuah koper hitam berukuran sedang milik anaknya. Ada perasaan aneh ketika Saka memintanya untuk memasak makanan kesukaan anaknya itu. Memang bukan yang pertama kali Saka meminta, namun entah mengapa terasa berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Ibu berjongkok dan membuka resleting koper di hadapannya. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan itu.
Ibu tertegun ketika yang pertama kali ia lihat adalah fotonya bersama Saka yang memakai toga di kepalanya serta buket bunga dalam genggamannya. Foto itu diambil ketika Saka wisuda, tepat dua tahun lalu. Ibu masih sangat mengingatnya.
"Bu?"
Ibu terlonjak kaget dan menoleh mendapati Saka yang ternyata sedang berdiri di belakangnya dan tersenyum kepadanya.
"Masakan ibu selalu enak. Tadinya mau Saka jadikan bekal untuk di pesawat, cuma Saja pikir mending Saka habiskan aja, soalnya di pesawat nanti Saka mau tidur."
"Tidur?" Kening ibu mengerut heran.
"Iya, semalam soalnya Saka begadang. Perasaan Saka nggak tenang, mungkin karena terlalu senang ya, Bu, akhirnya bisa pergi juga."
Ibu merasa aneh dengan penuturan Saka. Rasanya begitu ganjal. Namun, lagi lagi ia tak ingin berprasangka buruk.
Saka mengambil posisi di sebelah ibu dengan turut berjongkok, dan meraih foto tersebut dari genggaman ibunya.
"Fotonya Saka bawa buat Saka lihat terus kalau lagi kangen Ibu. Kan, Saka mau pergi jauh."
"Kamu ini bicara apa, Ka?" Mata ibu sudah berkaca-kaca. Semakin ia mendengar setiap penuturan Saka, semakin riuh pula gemuruh di dadanya.
"Ibu kenapa?" tanya Saka yang merasa bersalah begitu melihat wajah ibunya.
"Apa kamu nggak bisa batalin keberangkatan kamu itu, Ka?"
"Bu, Saka, kan, sudah bilang. Ini yang Saka nanti-nanti, nggak mungkin Saka tunda keberangkatan lagi." Saka menaruh kembali foto tersebut ke dalam koper, lalu menutupnya. Kemudian, ia beranjak bangun dan menarik gagang kopernya dalam genggaman. Melihat itu, ibu pun turut bangun dan berdiri di hadapan Saka. Menatap dalam-dalam anaknya itu.
"Kamu sudah mau berangkat?"
"Iya, Bu, pasti Saka sudah ditunggu di sana." jawabnya tenang.
"Kalau sudah di pesawat, kabari ibu ya, Ka." ucapnya yang dijawab anggukan oleh Saka. Kemudian, Saka melepas genggamannya dari koper dan memeluk ibunya dengan begitu erat, seolah ini menjadi momen terakhir ia bersama sang ibu.
"Nanti Saka kabari Ibu. Ibu cukup doakan kepergian Saka saja." ucapnya pelan di tengah-tengah pelukannya.
Sementara, di antara lengan kekar itu, wajah ibu bersembunyi dengan tangis yang tak lagi dapat disembunyikan. Airmatanya tumpah membekas di kemeja hitam milik Saka, meninggalkan kesedihan teramat sangat.
Hanya beberapa menit, lalu Saka lebih dulu melepaskan pelukannya karena menyadari ibu menangis. Di tatapnya wajah Ibu dan diusapnya airmata itu menggunakan jemarinya.
Saka tersenyum hangat, "Bu, jangan beratkan kepergian Saka dengan tangis. Kalau ibu sedih, nanti Saka ikut sedih. Ibu harus senyum dan doain Saka selalu ya. Nanti, Saka janji bakal segera pulang ke sini buat temuin ibu dan bawa oleh-oleh. Jadi, ibu jangan nangis lagi ya. Saka pasti baik-baik aja. Ibu percaya sama Saka, kan?"
Melihat wajah Saka membuat ibu sulit untuk menolak, ia hanya bisa mengangguk saja.
"Ya sudah, Saka pamit ya. Ibu jaga kesehatan selalu. Jangan lupa makan, bu. Jangan terlalu banyak pikiran, Saka nggak mau ibu sakit."
Saka mencium lembut telapak tangan ibu seolah dari sanalah ia mendapat restu untuk kepergiannya. Kemudian, ia beralih mengecup singkat kening yang berisi kerutan-kerutan itu.
"Janji sama ibu kalau kamu akan kabari Ibu, Ka."
Saka hanya tersenyum, tak menggangguk, tak juga menggeleng.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Ka."
Begitu pesan terakhir yang disampaikan ibu kepada Saka sebelum anaknya benar-benar membawa langkah itu pergi menjauh dari rumah membawa koper hitam bersamanya.
Beberapa jam setelah kepergian Saka, ibu semakin gelisah karena tak mendapat pesan satu pun dari anaknya itu. Kali ini, kegelisahan itu tak lagi ia sembunyikan, tak juga berusaha ia mengelaknya. Di meja makan, ibu mencoba menghubungi Saka, namun panggilan selalu tak tertawab. Hal itu membuatnya semakin kalut saja.
"Tuhan, pertanda apakah ini? Mengapa sejak semalam perasaanku tidak tenang? Apa yang akan terjadi sebenarnya?"
Kalimat berisi kegelisahan itu tumpah di atas meja makan, menjadi pertanyaan dan prasangka yang menuntut jawaban.
"Semoga Saka baik-baik saja."
Begitu doa yang selalu ibu kumandangkan dan tak terlewat barang sekali pun.
Ibu masih terus mencoba, menghubungi anaknya, serta mengirimkan banyak pesan yang berisi pertanyaan yang ia harapkan mendapat jawaban yang menenangkan. Namun, jawaban itu tak kunjung ia dapatkan. Hanya bunyi panggilan tak terjawab yang berputar ulang di telinganya, sampai sebuah kalimat membungkam segala suara lainnya.
"Pesawat SJ182 hilang, bu."
Begitu kalimat yang didengar ibu dari seorang gadis yang merupakan anaknya juga. Telepon ibu jatuh di atas meja dengan layar yang menampilkan panggilan kepada Saka, namun tidak terjawab.
"Itu... Pesawat yang ditumpangi Saka."
Lalu, segala ucapan Saka beberapa jam yang lalu berputar ulang di kepalanya. Dari ketika anak itu memintanya memasakan makanan kesukaannya, lalu alasan Saka membawa foto dirinya, serta kalimat-kalimat Saka yang seharusnya dapat ia sadari maknanya.
"Nanti Saka kabari Ibu. Ibu cukup doakan kepergian Saka saja."
Ibu hanya termenung. Dan kini, seperti sebelum-sebelumnya, doa untuk Saka tak pernah ia lewatkan. Jika kemarin-kemarin ibu berdoa Saka baik-baik saja, maka kali ini Ibu hanya meminta agar Tuhan mengabulkan doanya yang kemarin-kemarin.
Komentar
Posting Komentar