Nina Bobo untuk Angkara
Cerita ini bukan tentang para manusia yang berbincang. Cari tahu lebih dulu arti tiap tokoh untuk lebih memahami peran masing-masing.
****
Tangan itu terkepal kuat dengan urat-urat yang tercetak jelas. Bibirnya dibungkam erat. Kepalanya bergemuruh hebat. Dadanya sembahyang ayat-ayat. Tubuhnya mematung di tempat. Mungkin sabarnya sebentar lagi sekarat.
"Sejak kapan?"
Angkara menoleh pada sebuah kehadiran yang mengambil alih peran debu jalanan yang duduk di kursi sebelahnya. Namanya Asmaraloka, penuh dengan cinta kasih, pemberian tanpa pamrih.
"Sejak kapan tangan itu mengepal? Apa makian sedang kau rapal?"
Angkara terlalu hitam bak jelaga, terlalu rimbun bak jenggala, tak terjamah bahasa pula rasa. Tak ada yang mampu menerima dan memahaminya. Angkara banyak luka, mulut seseorang berkali-kali menikamnya bak mata pisau. Percikan darah mengenai mereka, Angkara meminta maaf karena tak bermaksud menebar noda.
"Kau dapat menjadi lemah, Angkara. Lelahmu berhak mendapat tempat. Ceritamu berhak untuk pulang pada rumah yang tepat. Selama ini, manusia itu berpikir kau tak pernah kenapa-kenapa."
"Sekalipun kenapa-kenapa, manusia itu akan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, kan?"
Angkara memercik ke dalam daksa. Khawatir darahnya mengenai manusia itu lagi. Membiarkan memar di dalam, membiru dan disemogakan lekas pulih seperti doa-doa yang dikumandangkan untuk orang yang sedang sakit.
"Biarkan saja aku menjadi tenang seperti yang selalu ia katakan. Biarkan saja aku menjadi yang paling mudah ditemukan, lalu disingkirkan. Katanya, ia terlalu kelelahan untuk aku yang tak berhak merasakan hal yang serupa. Matanya, dunianya, menganggap aku tak apa. Tak juga merasa lelah. Ironisnya, tak punya banyak hal yang dipikirkan. Manusia itu memang begitu, kan? Senang berasumsi dan membenarkan untuk memenuhi kepuasan diri?"
"Kalau begitu terus, kau akan tenggelam, Angkara. Kau akan lupa cara bernapas dan meminta bantuan."
Angkara perlahan luruh. Sudah sejak lama ia tenggelam. Mulanya, Angkara lahir hanya berupa temaram yang terus diredam hingga padam, lalu karam. Sementara, Asmaraloka lahir dengan senyum yang dipaksa ranum, dituntut membuat berpasang mata berdecak kagum, dan tentang kesalahan yang terus diberi maklum.
"Lagipula, kau yang jelas-jelas mendapat tempat saja, masih tidak dihargai? Perasaanmu itu terlalu murahan, Asmaraloka. Kau tidak harus menurunkan harga dirimu untuk seorang manusia."
Kali ini, Asmaraloka meredup. Purnama di senyumnya terkatup. Ternyata, ia tak pernah cukup. Tapi setidaknya ia pernah membuat ritme yang berbeda pada sebuah degup, meski mungkin ia tak bisa menjanjikan sampai kapan akan tetap hidup.
"Mari kembali ke perut bumi. Mari berbicara dengan Tuhan. Kita terlalu sering memberi pengampunan pada manusia, yang bahkan kita tak pernah tahu apakah kita akan diberi pengampunan yang sama atau tidak."
"Kau ingin mati?"
"Tidak, hanya terlelap untuk sepanjang umur seperti yang didoakan manusia saat ulang tahun. Lagipula, ia tak pernah benar-benar melihat kita. Tak pernah benar-benar menganggap kehadiran kita. Ia hanya tahu tentang lelahnya saja, tanpa mengerti kita pun sama lelahnya. Ia mengira kita tidak melakukan apa-apa, tidak sedang mengupayakan sesuatu."
"Lalu, selama kau terlelap, siapa yang akan terjaga?"
"Semoga Atma dan Asa bersedia terjaga untuk sebuah daksa. Aku titip manusia cengeng ini. Pastikan airmatanya tidak jatuh di sela tidurnya lagi."
Angkara memejamkan mata. Kepalan tangannya terurai. Napasnya perlahan kembali teratur. Sabarnya kembali ditanam. Dibiarkan menjalar. Sementara Asmaraloka memilih termenung, entah sampai kapan akan tetap begitu. Ia hanya bisa memutar lagu nina bobo sebagai pengantar tidur panjang untuk Angkara. Semoga mimpi buruk tak lekas membangunkannya.
Komentar
Posting Komentar