Sebuah Peringatan Kehilangan
Akhirnya, aku dan kamu bersua kembali pada perputaran tanggal yang sama di tahun yang berbeda. Namun, kini semakin jauh langkah yang kamu bawa, semakin jelas pula bahagiamu tertera, di sana. Dan, untukku semakin jelas bahwa mengalah adalah satu-satunya jalan yang kubisa. Berjalan mundur dan pulang tanpa harapan untuk bisa bersama.
Masih ingat?
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah menuliskanmu pada tempat yang sama seperti saat ini. Yang berbeda hanya perihal jarak, sisanya sama hanya tentang sebuah perasaan dan kehilangan.
Beberapa tahun yang lalu, aku masih bisa melihat kedua netramu yang berbinar. Aku masih bisa melihat tawamu yang rekah. Berbicara denganmu masih menjadi hal yang mudah.
Ada satu momen yang sampai saat ini tak bisa aku lupakan. Sudah jelas saat dimana kehilanganmu itu nyata karena kamu yang menjadikannya ada. Aku masih ingat bagaimana airmata itu luruh di sebuah ruangan sunyi karena tak kuasa menampilkannya di hadapanmu yang jauh berbeda dengan keadaanku saat itu. Aku menangis, justru kamu tersenyum manis. Tragis.
Tak apa, kali ini tak ada tangis ketika aku mengingatnya.
Beberapa tahun yang lalu, aku masih ingat pertama kali aku dan kamu bertemu. Pakaianmu yang berantakan, wajah bangun tidur yang malas menebar senyum, langkah yang tegap namun seakan tak memperdulikan apa saja yang turut berjalan di sebelahmu. Masih tercetak jelas diingatanku bagaimana kedua alismu bertaut, keningmu mengerut, dan bagaimana amarahmu tersulut. Masih terekam jelas bagaimana kata-kata itu lahir dari bibirmu, suaramu yang mengeras dengan intonasi cepat yang terkadang membuatku kewalahan mendengarnya.
Aku juga ingat bagaimana kamu bersikap ramah padaku, sampai aku tak sadar bahwa ada yang telah lahir di dalam dadaku. Sebuah harapan.
Aku pernah berharap padamu. Berharap tak hanya aku yang merasakan gemuruh hebat di dalam dada. Berharap tak hanya aku yang terus mengingatmu di rongga-rongga kepala. Berharap tak hanya aku yang memiliki rasa, namun kau juga.
Harapan itu tumbuh, sebelum akhirnya luruh. Karena patah kau jadikan rumah untukku yang berniat tinggal.
Tak apa. Itu sudah beberapa tahun yang lalu.
Kini, aku dan kamu sudah jauh berbeda. Aku melihat di sebuah akun media sosialmu, tertera sebuah rupa yang begitu elok, surai hitam yang senantiasa tergerai.
Aku pernah berpikir bahwa aku menjadi orang paling beruntung karena dapat mengenalmu, namun ternyata dialah yang paling beruntung karena berhasil memilikimu tanpa harus merasakan sakitnya berjuang seorang diri.
Entah, aku harus turut bersuka cita atas pencapain dari pencarianmu, atau justru berduka cita karena pencapaian dari pencarianmu bukan padaku.
Sampai saat ini melupakanmu tak pernah mudah. Meski sembuh perlahan tumbuh.
Aku belum menemukan seseorang lain yang mampu menggantikan posisi dan porsimu dalam kata-kataku, puisi-puisiku, dan segala sajak ceritaku. Namun, secepat itu kamu menemukan seseorang yang mampu mengisi harimu, menghadirkan senyummu, dan memenuhi galeri gawai serta kepalamu.
Aku hanya ingin mengenang, tak bermaksud untuk kembali pulang pada masa itu. Hidupku setidaknya saat ini sudah cukup baik setelah patah yang tak menjadikanku baik. Lagipula, kamu sudah bahagia. Jelas aku tahu karena aku menyimpan potretmu bersama seorang perempuan yang saling bertukar senyum denganmu. Rasanya aku ingin turut bahagia dan mengatakan padamu bahwa baik-baik saja sudah aku temukan ketika melihatmu dengannya. Namun, tetap segelintir rasa sakit masih terasa. Seperti yang kubilang, melupakanmu tak pernah mudah. Aku hanya merasa cukup baik, bukan baik-baik saja. Cukup baik menerima rasa sakitnya.
Padahal, aku sudah berjanji pada diriku untuk tak menuliskan tentangmu lagi. Tak menjadikanmu sebagai pemilik rumah untuk kata-kataku berumah. Namun, hari ini sebuah angka memanggilku, entah untuk memberiku peringatan tentang sebuah kehilangan atau memintaku merayakan kehilangan itu sendiri.
Hari ini, mungkin kamu tak tahu bahwa tiga tahun sudah patah berumah. Penolakanmu masih membekas di kepala yang terkadang melahirkan tanya di atas-atas bantal tidur yang seharusnya menenangkan isi kepala. Kenapa bukan aku?
Tapi, aku sadar. Yang kau cari itu rupa, bukan yang gigihnya berdoa. Yang kau cari itu senyum manis yang selalu rekah, bukan yang berjuang tanpa lelah. Yang kau cari itu dia, bukan aku yang senantiasa ada.
Aku hanya ingin mengenang. Karena setidaknya, aku dan kamu dapat bersua kembali, meski hanya pada sebuah tanggal dan kamu yang tak pernah tinggal.
Lekas sembuh.
Amanda.
24 November 2020
Bagian dari Tuan 24 November yang hilang.
Komentar
Posting Komentar