Penari Belakang Layar
Piringan hitam itu ia nyalakan. Merdu sampai di kedua telinganya. Dengan gaun putih dan sepatu baletnya, kaki-kaki itu terlatih. Berjingkat. Berputar. Bergerak membentuk pola-pola di atas marmer hitam. Di belakang layar, tubuh itu dengan gemulainya menyampaikan kedukaannya melalui tarian. Isi kepalanya ikut menari mengenang segala mimpi yang hangus jadi abu.
"Bersikaplah layaknya seorang perempuan."
"Perempuan itu harus bisa merawat diri."
"Perempuan itu yang bisa menari, bukan bermain dengan imaji."
"Perempuan itu yang tubuhnya gemulai, bisa bersikap elegan juga."
Kata-kata itu menari-menari, terbentur, terbentur, terbentur, dan lebur di kepalanya. Tubuhnya terjatuh. Dari balik sepatu balet itu, biru tercetak jelas pada permukaan kakinya. Perih, namun sebisa mungkin ia tak menampilkan wajah sedih.
"Kamu sebagai perempuan itu jangan cengeng. Jangan lemah."
Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Kata-kata itu menghantam dadanya dan seolah menjadi percikan api yang membakarnya. Bukankah dirinya sudah lebih dulu hangus sebelum dibakar?
Ia berusaha bangkit, namun memar itu begitu bebal untuk menghentikan tariannya. Dari balik layar, tubuhnya bersimpuh, kesulitan untuk kembali merengkuh dalam tarian kedukaan yang ia persembahkan untuk dirinya sendiri.
Wajahnya keras, padahal mati-matian menahan sesak. Ia hanya ingin menangis, namun dunia dan manusianya tak memperbolehkannya. Seolah menangis adalah sebuah dosa besar yang tak punya pengampunan.
"Begitu saja kok sudah menyerah. Jadi perempuan itu yang kuat."
Ia bertanya-tanya siapa yang menulis dan memutar suara itu secara terus menerus di kepalanya? Siapa yang mengumandangkan kata-kata menyakitkan itu yang selalu menghantam dirinya? Siapa yang dengan tega membiarkan isi kepalanya riuh dengan kata-kata yang itu-itu saja, namun justru lukanya semakin bertambah?
"Aku bukan penari. Aku manusia."
Suara itu begitu lirih, bahkan mungkin tak sampai pada telinga di antara dinding putih yang gelap itu. Mungkin tak akan ada yang mendengarnya. Lagipula, dirinya hanya penari belakang layar, yang dipaksa berputar-putar, padahal jiwanya sudah terkapar. Mati bersama mimpinya.
–Amanda P.
29 November'20
Komentar
Posting Komentar