Alter Ego
Aku heran dengan manusia yang hanya ingin didengarkan. memangnya hanya mereka yang memiliki cerita? memangnya hanya mereka yang memiliki luka?
tapi, di saat aku ingin berbagi, mereka memilih pergi. Di saat aku ingin bercerita, mereka memutuskan tiada.
Mereka selalu memilih tuli di saat mampu mendengarkan.
Mereka selalu memilih bisu di saat mampu memberi saran.
Aku heran, kenapa mereka begitu tak adil?
"Kalau mereka bersikap adil, gak akan ada hukum."
Aku menatapnya. Ia menjadi satu-satunya yang mau mendengarkan. Meski aku tahu, terkadang ia sering menyalahkanku.
"Hukum untuk mengadili, manusia untuk menghakimi. begitu maksudmu?" Aku bertanya padanya dan sesuai dugaan, ia menganggukan kepala.
"Tapi kadang hukum juga gak adil." kataku lagi.
"Bisa beri aku contoh?"
"Ketika manusia membunuh, mereka hanya dihukum di balik jeruji. Kenapa tak dibalas dengan membunuh juga? itu baru adil, kan?"
Kau menggeleng, kau tak menyetujui ucapanku. Ah, terkadang aku membenci dirimu.
"Itu tidak adil, Keana. Jika seorang pembunuh dibalas dengan membunuhnya juga, maka yang membunuh dinyatakan sebagai pembunuh, dan balasannya dibunuh juga. itu terus berlanjut," katamu yang membuatku semakin kesal.
"Seorang pembunuh dibalas dengan di kurung di balik jeruji. itu hanya hukumannya di dunia tapi akan di adili di alam sana. kau mengerti?"
Aku hanya mendengus.
"Jadi semua salahmu. Salahmu yang menginginkan keadilan tapi tak adil dalam memahami diri sendiri."
Siapa sangka? Seusai ia mengatakan itu, aku terisak. Mengingat betapa tidak adilnya aku pada diriku sendiri.
Aku menatapnya lekat, ternyata ia juga terisak. Ia menangis, sama sepertiku.
"Berusahalah, Keana."
Kedua tanganku mengepal kuat. Kata-katanya seolah sedang merendahkanku. Apa ia pikir aku selemah itu?!
Lantas kuberikan sebuah pukulan kencang padanya. Ia kalah. Ia retak. Ia hancur. Ia tak lagi ada.
Aku menyeringai saat sosoknya tak lagi kulihat.
"Aku sudah berhasil mengadilimu, Keana."
Komentar
Posting Komentar