Badut dan Sebuah Atraksi




Jemari itu dengan gemulai menari-nari di permukaan wajah dengan sebuah kuas seukuran jari tengahnya. Ia ukir sebuah garis panjang berwarna merah yang menyerupai sebuah senyuman yang melewati sudut-sudut bibirnya. Ia biarkan merah yang pekat itu menutupi memarnya. Lalu, ia campurkan warna merah dengan sedikit warna hitam agar terlihat lebih pekat dari sebelumnya. Dibuatnya lingkaran dengan tangan yang gemetar di sekitar kelopak matanya. Kemudian ia raih sebuah bola plastik berukuran kecil dengan warna yang serupa dengan bibirnya, lalu ia pasangkan pada ujung runcing hidungnya.

Satu hal tak boleh ia lupakan, ialah sebuah topi hitam dengan bagian atas yang memanjang. Di sana tempat segala hal yang tak terduga terjadi. Tempat sembunyi sebuah rasa sakit.

Tubuh ringkih, tulang punggung yang bungkuk, bahu yang tak lagi tegap, kerutan di sudut-sudut matanya yang semakin terlihat jelas, kulit-kulit yang mulai mengendur. Di tatapnya pantulan cermin di hadapannya yang menampilkan seorang badut tua dengan sekeping luka yang hanya mampu ditertawakan oleh manusia. 

"Malam ini, aku akan menunjukkan artraksi yang berbeda."

Saat hendak menanggalkan singgasananya, ia sempat menampilkan seulas senyum yang membuat kerutan itu semakin jelas.

Kemudian, langkah tua yang tak lagi mampu tergesa itu berjalan naik ke atas panggung, tempat di mana segala hal menjadi kepura-puraan. 

Tepat saat lampu sorot mengarah padanya, ia menampilkan sebuah seringai dan wajah bodohnya itu. Di atas panggung, dirinya hanyalah penghibur. Ia tak akan melupakan bahwa kedudukan hanya seorang badut, yang hanya akan ditertawakan.

"Malam ini aku akan memberikan atraksi yang berbeda dari sebelumnya."

Ia mulai mengeluarkan tiga buah bola kecil dari dalam saku jaketnya. Kemudian melemparkannya ke atas dan mengambilnya secara bergantian. Bola itu berputar. Tak hanya sampai di sana, jari jemarinya yang seolah mempunyai sihir itu ia satukan dan dalam hitungan detik, saat kedua telapak tangan itu terbuka, terdapat secarik kertas berwarna merah.

"Lihat, apa yang aku dapat." ucapnya kepada para penonton yang menyaksikannya. Sedari awal, belum terdengar tawa dari mereka yang sampai di telinganya.

"Oh, lihat! Pesan ini untuk kalian semua. Biar aku bacakan."

Rasa penasaran menghantui benak para penonton, karena tak biasanya mereka mendapati atraksi semacam ini.

"Merpati itu putih, gagak itu hitam. Diumpankan daging merpati pada kawanan gagak. Yang hitam tumbuh besar, yang putih semakin kerdil. Hei! Apa yang menjalar diam-diam dari atraksi seorang badut ini? Apa yang tersembunyi dari balik topi sang badut?"

"Yang hitam tumbuh besar, yang putih semakin kerdil. Tawa milik siapakah itu yang menggema melihat luka yang mendaging di atas panggung? Oh, lihat! Seringai di wajah kalian serupa monster di mimpiku yang berhasil aku bungkam dengan suara peluru. Tapi aku badut yang hanya pantas ditertawakan, tak punya mimpi. Lantas yang tadi itu apa? Oh, kenyataan."

"Yang hitam tumbuh besar, yang putih semakin kerdil."

Ia tersenyum usai membaca surat itu. Kemudian dilepaskan topi di kepalanya dan bersikap seolah memberi salam kepada para penonton yang menyaksikannya. Tumbuh beribu pertanyaan yang memenuhi kepala mereka tentang mengapa atraksi kali ini berbeda dan apa makna dari surat yang dibacakan sang badut.

"Hei! Mau lihat atraksiku yang berikutnya?"

Tanpa membutuhkan persetujuan, dirogohnya topi miliknya itu. Segala hal tersembunyi di sana. Segala hal. Hingga, sebuah benda berwarna hitam sudah berada dalam genggamannya.

"Hanya ada lima anak peluru. Mari bermain atraksi denganku. Dalam hitungan tiga, mulailah berlari."

"Tiga!"


—end—


Ditulis oleh Amanda Putri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petang dan Yang Tak Pernah Pulang

Dikebumikan

Selamat Ulang Tahun