Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Ini Tentang Amanda

Gambar
Mungkin kali ini, saya akan memberinya judul apresiasi dan evaluasi diri.  Beberapa tahun lalu, tubuh ini hampir kalah oleh kerasnya kehidupan yang menggerusnya. Ajaran-ajaran yang ia terima dari setiap alur kehidupan kadang seperti makanan pokok yang segala manis dan pahit harus tetap ia cerna untuk tetap bernyawa. Tak urung, tubuh ini seringkali mengeluh sakit. Terlalu keras diajar kehidupan. Tak urung pula, segala ruam ia terima tanpa meminta.  Pernah suatu waktu, satu bungkus pil obat terasa menjadi penyembuh dari tubuh yang terasa ingin luruh dan waras yang sedikit tak utuh. Namun, hidup mengajarkan bukan perihal segera sembuh, namun perihal proses untuk tumbuh. Dan, obat bukan jalan pintas untuk bertumbuh meskipun terbilang mampu membuat sembuh. Karena pada kenyataannya, sakit tetap ada di setiap jalan yang ia tempa.  Lalu bicara perihal mimpi, beberapa tahun yang lalu, mimpinya pernah digantungkan di atap-atap semesta. Percaya bahwa tak akan melahirkan kecewa. Siap...

Hidup dan Perjalanan Pendewasaan

Gambar
Binar di sepasang netranya kini meredup, tak secerah kala pertama kali melihat dunia. Senyum di wajahnya kini memudar, tak serekah kala pertama kali melihat manusia. Harapan hanya sebuah sisa-sisa yang membungkus dinding jantungnya agar tetap berdetak ketika banyak mimpi yang terlanjur mati. Namun, ia tetap melangkah, menjejak setiap jalan dari hidup yang selalu memberi kejutan dan pelajaran untuknya menjadi dewasa. Perkenalkan, namanya Lara. Gadis berusia 18 tahun yang dipaksa menjadi dewasa melampaui usianya.  Lara kecil tumbuh tanpa utuh. Dinding-dinding yang menopang rumahnya agar tak runtuh, kini telah lebur menjadi bangunan yang kumuh. Keluarga yang semula satu saling terikat, kini menjadi satu yang tak lagi saling mengikat. Saat itu, usia Lara terlalu dini untuk mengerti bahwa cinta sebagian tak semestinya memiliki, dan bersama tak selamanya abadi. Namun, Lara dipaksa mengerti ketika mau tak mau menyaksikan sebuah perpisahan yang ditampilkan di hadapannya. Lara kecil menjadi...

Penari Belakang Layar

Gambar
Piringan hitam itu ia nyalakan. Merdu sampai di kedua telinganya. Dengan gaun putih dan sepatu baletnya, kaki-kaki itu terlatih. Berjingkat. Berputar. Bergerak membentuk pola-pola di atas marmer hitam. Di belakang layar, tubuh itu dengan gemulainya menyampaikan kedukaannya melalui tarian. Isi kepalanya ikut menari mengenang segala mimpi yang hangus jadi abu.  "Bersikaplah layaknya seorang perempuan." "Perempuan itu harus bisa merawat diri." "Perempuan itu yang bisa menari, bukan bermain dengan imaji." "Perempuan itu yang tubuhnya gemulai, bisa bersikap elegan juga." Kata-kata itu menari-menari, terbentur, terbentur, terbentur, dan lebur di kepalanya. Tubuhnya terjatuh. Dari balik sepatu balet itu, biru tercetak jelas pada permukaan kakinya. Perih, namun sebisa mungkin ia tak menampilkan wajah sedih. "Kamu sebagai perempuan itu jangan cengeng. Jangan lemah." Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Kata-kata itu menghantam dadanya dan s...

Sebuah Peringatan Kehilangan

Gambar
Akhirnya, aku dan kamu bersua kembali pada perputaran tanggal yang sama di tahun yang berbeda. Namun, kini semakin jauh langkah yang kamu bawa, semakin jelas pula bahagiamu tertera, di sana. Dan, untukku semakin jelas bahwa mengalah adalah satu-satunya jalan yang kubisa. Berjalan mundur dan pulang tanpa harapan untuk bisa bersama. Masih ingat? Beberapa tahun yang lalu, aku pernah menuliskanmu pada tempat yang sama seperti saat ini. Yang berbeda hanya perihal jarak, sisanya sama hanya tentang sebuah perasaan dan kehilangan. Beberapa tahun yang lalu, aku masih bisa melihat kedua netramu yang berbinar. Aku masih bisa melihat tawamu yang rekah. Berbicara denganmu masih menjadi hal yang mudah. Ada satu momen yang sampai saat ini tak bisa aku lupakan. Sudah jelas saat dimana kehilanganmu itu nyata karena kamu yang menjadikannya ada. Aku masih ingat bagaimana airmata itu luruh di sebuah ruangan sunyi karena tak kuasa menampilkannya di hadapanmu yang jauh berbeda dengan keadaanku saat itu. Aku...

Badut dan Sebuah Atraksi

Gambar
Jemari itu dengan gemulai menari-nari di permukaan wajah dengan sebuah kuas seukuran jari tengahnya. Ia ukir sebuah garis panjang berwarna merah yang menyerupai sebuah senyuman yang melewati sudut-sudut bibirnya. Ia biarkan merah yang pekat itu menutupi memarnya. Lalu, ia campurkan warna merah dengan sedikit warna hitam agar terlihat lebih pekat dari sebelumnya. Dibuatnya lingkaran dengan tangan yang gemetar di sekitar kelopak matanya. Kemudian ia raih sebuah bola plastik berukuran kecil dengan warna yang serupa dengan bibirnya, lalu ia pasangkan pada ujung runcing hidungnya. Satu hal tak boleh ia lupakan, ialah sebuah topi hitam dengan bagian atas yang memanjang. Di sana tempat segala hal yang tak terduga terjadi. Tempat sembunyi sebuah rasa sakit. Tubuh ringkih, tulang punggung yang bungkuk, bahu yang tak lagi tegap, kerutan di sudut-sudut matanya yang semakin terlihat jelas, kulit-kulit yang mulai mengendur. Di tatapnya pantulan cermin di hadapannya yang menampilkan seorang badut tu...

Jika Suatu Hari Aku Jatuh Cinta

Jika suatu hari aku jatuh cinta, percayalah itu bukan padamu lagi. Tak akan kutaruh harapanku pada setiap langkah pulangmu yang bukan aku. Tak akan kusisipkan doa-doa pada setiap mimpi-mimpi yang kau inginkan tanpa aku. Warasku sudah sepenuhnya utuh setelah kala itu kau buat diriku terjatuh dengan perasaan yang tak pernah kau anggap sungguh-sungguh.  Jika suatu hari aku jatuh cinta, namamu tak akan pernah tersemat barang sedikit pun dalam lafal ucapanku. Tentangmu tak akan pernah tertulis di dalam lembar-lembar cerita dan puisi-puisiku. Karena sekali kau memutuskan meninggalkankan, maka saat itu pula segala tentangmu berhenti aku kisahkan, berhenti aku tuliskan. Jangan mengharapkan bahwa aku akan kembali meminta seperti semula, karena kali ini telah berbeda. Tak ada hati yang rela dibuat patah untuk kesekian kali. Tak ada bodoh yang terasa nyaman di dalam diri. Tak ada namamu lagi. Jika suatu hari aku jatuh cinta, hanya perasaan enggan yang tersedia untukmu. Segala tentangmu akan t...

Kepingan Mimpi dan Rasa Sakit

Aku mengembuskan napas kecewa. Bahuku melorot begitu saja. Terasa begitu berat beban yang kubawa selama ini tak membuahkan hasil yang kuinginkan. Kepalaku tertunduk lemas. Airmataku jatuh begitu saja tanpa bisa aku cegah. Satu. Satu. Semakin deras. Isakan yang semula tenang menjadi kencang. Kedua bahuku bergetar. Jantungku berdebar hebat. Tak ada namaku di sana. Tak kutemukan namaku di barisan hijau. Padahal tak pernah aku panjatkan penolakan, atau lebih parahnya penyesalan. Aku kalah bahkan sebelum dimulai. Dipaksa mundur teratur padahal hanya satu langkah lagi mimpiku tergapai. Rasanya begitu sesak mengingat bagaimana mimpi di bangun tinggi-tinggi. Malam yang dijadikan untuk terjaga mengerjakan algoritma yang terlampau sulit. Pagi yang dijadikan sebagai awal dengan tugas bahasa yang berlembar-lembar. Siang yang terasa begitu terik untuk mengerjakan bahasa asing dengan kamus-kamus tebal. Lalu petang yang terlampau jenuh dijadikan sebagai bahasan sejarah yang terasa memuakkan. Perjuang...

Secangkir Kopi Untuk Biru

Kepulanganmu tak pernah menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Tak pernah pula kutanam rindu. Harapan tak pernah tumbuh, sudah sejak lama ia kubunuh. Jangan beri aku pertanyaan, sebab jawab tak pernah kusiapkan dalam lembaran kalimatku. Biarkan saja pulangmu menjadi pulang paling sederhana. Tanpa ada kudapan di atas meja. Tanpa ada sambutan kembang api yang di langitkan. Biar saja hanya secangkir kopi hitam yang kusuguhkan dengan rasa yang sama pahitnya dengan kekecewaan yang mungkin kau terima. Biru, pulangmu tak pernah ada dalam ceritaku. Tak pernah ada dalam inginku. Kembalilah pergi setelah kau habiskan kopimu yang barangkali membuat tenggorokanmu meronta tak terima. "Kinar, kau tak menambahkan gula sedikit pun?" Tidak, Biru. Aku tak menambahkan rasa manis pada cangkir kopimu. Aku tak ingin kau berlama-lama dan menjadi terbiasa untuk pulang setelah pergi begitu lama. "Kinar, nanti malam aku akan mengajakmu ke bukit bintang. Di sana kau akan melihat rasi yang kau suka. Kau...

Meminjam Telinga Tuhan

Malam ini lampu jalan padam, kendaraan lupa jalan pulang. Tersesat di persimpangan arah. Timur, Utara, Selatan, Barat. Tak ada yang tahu mana arah pergi untuk pulang, atau pulang untuk pergi. Gemintang tak membentuk rasi penunjuk arah, para nelayan merenung di tengah dinginnya laut biru. ingin pulang. Rindu masakan Ibu. Rindu rumah. Lalu, tangan-tangan itu tangguh menengadah. terbuka lebar-lebar berisi garis-garis takdir yang memanjang. Tubuhnya gamang sebab kantuk mulai menyerang. Lalu lintas ingar. Banyak kecelakaan di jalan karena lampu jalan yang padam. Ombak di laut sedang pasang. Para nelayan taruh jaring jika nantinya harus menyatu pada palung terdalam. Banyak ikan-ikan yang terlepas, bersorak ria. Sedangkan di rumah, Ibu harap-harap cemas. Anak sudah mengigau memanggil nama bapak. Pak, jangan pergi. Jangan pergi. Ibu terlalu cemas untuk mudah mengerti makna igauannya.  pintu di buka lebar. pagar-pagar mulai rimpuh oleh kedatangan yang belum juga tiba. Angin berdesau kencang...

Alter Ego

Aku heran dengan manusia yang hanya ingin didengarkan. memangnya hanya mereka yang memiliki cerita? memangnya hanya mereka yang memiliki luka? tapi, di saat aku ingin berbagi, mereka memilih pergi. Di saat aku ingin bercerita, mereka memutuskan tiada. Mereka selalu memilih tuli di saat mampu mendengarkan. Mereka selalu memilih bisu di saat mampu memberi saran. Aku heran, kenapa mereka begitu tak adil? "Kalau mereka bersikap adil, gak akan ada hukum." Aku menatapnya. Ia menjadi satu-satunya yang mau mendengarkan. Meski aku tahu, terkadang ia sering menyalahkanku. "Hukum untuk mengadili, manusia untuk menghakimi. begitu maksudmu?" Aku bertanya padanya dan sesuai dugaan, ia menganggukan kepala. "Tapi kadang hukum juga gak adil." kataku lagi. "Bisa beri aku contoh?" "Ketika manusia membunuh, mereka hanya dihukum di balik jeruji. Kenapa tak dibalas dengan membunuh juga? itu baru adil, kan?" Kau menggeleng, kau tak menyetujui ucapanku. Ah, te...