Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Kepingan Mimpi dan Rasa Sakit

Aku mengembuskan napas kecewa. Bahuku melorot begitu saja. Terasa begitu berat beban yang kubawa selama ini tak membuahkan hasil yang kuinginkan. Kepalaku tertunduk lemas. Airmataku jatuh begitu saja tanpa bisa aku cegah. Satu. Satu. Semakin deras. Isakan yang semula tenang menjadi kencang. Kedua bahuku bergetar. Jantungku berdebar hebat. Tak ada namaku di sana. Tak kutemukan namaku di barisan hijau. Padahal tak pernah aku panjatkan penolakan, atau lebih parahnya penyesalan. Aku kalah bahkan sebelum dimulai. Dipaksa mundur teratur padahal hanya satu langkah lagi mimpiku tergapai. Rasanya begitu sesak mengingat bagaimana mimpi di bangun tinggi-tinggi. Malam yang dijadikan untuk terjaga mengerjakan algoritma yang terlampau sulit. Pagi yang dijadikan sebagai awal dengan tugas bahasa yang berlembar-lembar. Siang yang terasa begitu terik untuk mengerjakan bahasa asing dengan kamus-kamus tebal. Lalu petang yang terlampau jenuh dijadikan sebagai bahasan sejarah yang terasa memuakkan. Perjuang...

Secangkir Kopi Untuk Biru

Kepulanganmu tak pernah menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Tak pernah pula kutanam rindu. Harapan tak pernah tumbuh, sudah sejak lama ia kubunuh. Jangan beri aku pertanyaan, sebab jawab tak pernah kusiapkan dalam lembaran kalimatku. Biarkan saja pulangmu menjadi pulang paling sederhana. Tanpa ada kudapan di atas meja. Tanpa ada sambutan kembang api yang di langitkan. Biar saja hanya secangkir kopi hitam yang kusuguhkan dengan rasa yang sama pahitnya dengan kekecewaan yang mungkin kau terima. Biru, pulangmu tak pernah ada dalam ceritaku. Tak pernah ada dalam inginku. Kembalilah pergi setelah kau habiskan kopimu yang barangkali membuat tenggorokanmu meronta tak terima. "Kinar, kau tak menambahkan gula sedikit pun?" Tidak, Biru. Aku tak menambahkan rasa manis pada cangkir kopimu. Aku tak ingin kau berlama-lama dan menjadi terbiasa untuk pulang setelah pergi begitu lama. "Kinar, nanti malam aku akan mengajakmu ke bukit bintang. Di sana kau akan melihat rasi yang kau suka. Kau...

Meminjam Telinga Tuhan

Malam ini lampu jalan padam, kendaraan lupa jalan pulang. Tersesat di persimpangan arah. Timur, Utara, Selatan, Barat. Tak ada yang tahu mana arah pergi untuk pulang, atau pulang untuk pergi. Gemintang tak membentuk rasi penunjuk arah, para nelayan merenung di tengah dinginnya laut biru. ingin pulang. Rindu masakan Ibu. Rindu rumah. Lalu, tangan-tangan itu tangguh menengadah. terbuka lebar-lebar berisi garis-garis takdir yang memanjang. Tubuhnya gamang sebab kantuk mulai menyerang. Lalu lintas ingar. Banyak kecelakaan di jalan karena lampu jalan yang padam. Ombak di laut sedang pasang. Para nelayan taruh jaring jika nantinya harus menyatu pada palung terdalam. Banyak ikan-ikan yang terlepas, bersorak ria. Sedangkan di rumah, Ibu harap-harap cemas. Anak sudah mengigau memanggil nama bapak. Pak, jangan pergi. Jangan pergi. Ibu terlalu cemas untuk mudah mengerti makna igauannya.  pintu di buka lebar. pagar-pagar mulai rimpuh oleh kedatangan yang belum juga tiba. Angin berdesau kencang...

Alter Ego

Aku heran dengan manusia yang hanya ingin didengarkan. memangnya hanya mereka yang memiliki cerita? memangnya hanya mereka yang memiliki luka? tapi, di saat aku ingin berbagi, mereka memilih pergi. Di saat aku ingin bercerita, mereka memutuskan tiada. Mereka selalu memilih tuli di saat mampu mendengarkan. Mereka selalu memilih bisu di saat mampu memberi saran. Aku heran, kenapa mereka begitu tak adil? "Kalau mereka bersikap adil, gak akan ada hukum." Aku menatapnya. Ia menjadi satu-satunya yang mau mendengarkan. Meski aku tahu, terkadang ia sering menyalahkanku. "Hukum untuk mengadili, manusia untuk menghakimi. begitu maksudmu?" Aku bertanya padanya dan sesuai dugaan, ia menganggukan kepala. "Tapi kadang hukum juga gak adil." kataku lagi. "Bisa beri aku contoh?" "Ketika manusia membunuh, mereka hanya dihukum di balik jeruji. Kenapa tak dibalas dengan membunuh juga? itu baru adil, kan?" Kau menggeleng, kau tak menyetujui ucapanku. Ah, te...