Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

Harga Untuk Sebuah Percaya

Gambar
Masih tentang Lara dan segala hal di hidupnya. Tentang harga untuk sebuah percaya yang tak pernah ternilai oleh mata uang dan larutan janji. Lara tahu sejak beberapa tahun yang lalu, hidupnya tak lagi utuh. Ia hanya berjalan dengan tulang-tulang yang rapuh, yang sesekali terjatuh, lalu bersimpuh dan mengeluh, kemudian luruh separuh. Terus begitu hingga tak ada lagi kata penuh.  Daging-daging itu mulai mengerut membentuk garis-garis usia dan lelah yang semakin tumbuh dewasa; di kepala, kedua bahu, langkah kaki, dan kantung hitam di bawah matanya. Namun, hingga saat ini yang Lara pertanyakan hanya berapa harga untuk sebuah percaya? Adakah harga yang harus ia bayar untuk sebuah percaya? Sedari kecil, Lara sudah hilang kepercayaan. Laki-laki pertama yang seharusnya menjadi seseorang yang paling ia percaya, justru menjadi laki-laki pertama yang melahirkan ingkar dalam hidupnya. Lalu, bagaimana mungkin Lara bisa kembali percaya pada mereka yang disebut manusia? Meski binar matanya semaki...

Meniti Keabadian

Gambar
  "Kamu yakin mau berangkat sekarang juga, Ka?" "Iya, Bu. Lagipula, kemarin-kemarin Saka udah tunda terus keberangkatan Saka." Melihat keras kepala putranya yang tak bisa ia luluhkan, Ibu hanya menghela napas panjang. Sejak semalam, perasaannya tak tenang. Beberapa hari pula mimpi buruk kerap kali menghampiri tidurnya. Ibu tak ingin berprasangka buruk, karena yakinnya selalu bernaung dalam doa yang Ibu percaya tak pernah Tuhan lewatkan untuk di dengar. Ibu selalu berdoa untuk kebaikan mereka, terutama anaknya, Saka. "Bu, semalem Saka minta dibuatkan nasi goreng udang. Ibu sudah buat?" tanya Saka memecah lamunan Ibu. Ditatapnya sebentar wajah Saka, sebelum akhirnya mengangguk. "Sudah, ada di meja makan." "Ya sudah, Saka makan dulu. Jadi pas Saka berangkat, Saka nggak perlu makan apa-apa lagi." Saka yang sudah rapi dengan kemeja hitam dan jeans biru mudanya berjalan meninggalkan ibunya menuju meka makan. Saka sama sekali tak memperhatikan...

Aku Manusia

Gambar
Dua telinga terpasang, siap jadi rumah cerita untuk berpulang. Dadaku juga luas menempa tabah untuk segala keluh kesah. Bahuku tangguh untuk segala airmata yang singgah untuk luruh. Lenganku terasa hangat untuk memeluk segala luka yang membuatmu remuk. Aku bersedia menjadi rumah duka dari cerita-cerita pilu yang kamu bawa untuk berlabuh. Segala tutur kata sudah kupanaskan hingga mendidih di kepala untuk segala tanyamu yang barangkali memaksaku untuk angkat suara. Bahkan, tanpa segan telah kusediakan teh manis hangat untuk kamu teguk ketika tenggorakanmu tercekat saat bercerita. Aku juga sudah menyiapkan satu kamar khusus untukmu dengan selimut tebal agar kamu dapat terlelap dalam panjangnya malam setelah kamu habiskan waktumu untuk bercerita. Aku ada, menjadi jalan yang kau tuju, teh hangat yang kau teguk, kasur empuk yang meninabobokanmu, rumah duka atas lukamu, menjadi apapun yang kau inginkan, yang mungkin tak kau dapatkan selama ini. Namun, bukan berarti kamu berhak memperlakukanku...