Nina Bobo untuk Angkara
Cerita ini bukan tentang para manusia yang berbincang. Cari tahu lebih dulu arti tiap tokoh untuk lebih memahami peran masing-masing. **** Tangan itu terkepal kuat dengan urat-urat yang tercetak jelas. Bibirnya dibungkam erat. Kepalanya bergemuruh hebat. Dadanya sembahyang ayat-ayat. Tubuhnya mematung di tempat. Mungkin sabarnya sebentar lagi sekarat. "Sejak kapan?" Angkara menoleh pada sebuah kehadiran yang mengambil alih peran debu jalanan yang duduk di kursi sebelahnya. Namanya Asmaraloka, penuh dengan cinta kasih, pemberian tanpa pamrih. "Sejak kapan tangan itu mengepal? Apa makian sedang kau rapal?" Angkara terlalu hitam bak jelaga, terlalu rimbun bak jenggala, tak terjamah bahasa pula rasa. Tak ada yang mampu menerima dan memahaminya. Angkara banyak luka, mulut seseorang berkali-kali menikamnya bak mata pisau. Percikan darah mengenai mereka, Angkara meminta maaf karena tak bermaksud menebar noda. "Kau dapat menjadi lemah, Angkara. Lelahmu berhak mendapa...