Penari Belakang Layar
Piringan hitam itu ia nyalakan. Merdu sampai di kedua telinganya. Dengan gaun putih dan sepatu baletnya, kaki-kaki itu terlatih. Berjingkat. Berputar. Bergerak membentuk pola-pola di atas marmer hitam. Di belakang layar, tubuh itu dengan gemulainya menyampaikan kedukaannya melalui tarian. Isi kepalanya ikut menari mengenang segala mimpi yang hangus jadi abu. "Bersikaplah layaknya seorang perempuan." "Perempuan itu harus bisa merawat diri." "Perempuan itu yang bisa menari, bukan bermain dengan imaji." "Perempuan itu yang tubuhnya gemulai, bisa bersikap elegan juga." Kata-kata itu menari-menari, terbentur, terbentur, terbentur, dan lebur di kepalanya. Tubuhnya terjatuh. Dari balik sepatu balet itu, biru tercetak jelas pada permukaan kakinya. Perih, namun sebisa mungkin ia tak menampilkan wajah sedih. "Kamu sebagai perempuan itu jangan cengeng. Jangan lemah." Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Kata-kata itu menghantam dadanya dan s...